Saturday, September 21, 2013

LAPORAN MANAJEMEN TERNAK PERAH



BAB I
PENDAHULUAN
Sapi perah termasuk ternak homeostatis yang mana keadaan fisiologis tubuhnya sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan seperti suhu udara, kelembaban udara dan radiasi sinar matahari. Keadaan ini yang menyebabkan sapi perah harus dipelihara dengan manajemen yang baik agar produksi utamanya yaitu susu dapat dihasilkan maksimal baik secara kualitas maupun kuantitas.
Susu yang dihasilkan oleh sapi perah memiliki kandungan nutrien yang komplek sehingga baik untuk dikonsumsi. Pengelolaan sapi perah yang baik akan menghasilkan susu yang dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Gizi susu  sangat penting untuk membantu pertumbuhan tubuh.
Tujuan Praktikum Manajemen Ternak Perah ini adalah agar mahasiswa dapat mempraktikkan manajemen pemeliharaan, manajemen pakan, manajemen perkandangan, dan manajemen pemerahan. Manfaat yang diperoleh praktikan adalah diperolehnya keterampilan dalam pengelolaan ternak, pemberian pakan ternak, sistem perkandangan, maupun keterampilan dalam pemerahan.






BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.      Sapi perah

Sapi perah adalah jenis sapi yang dapat menghasilkan air susu melebihi dari kebutuhan anaknya dan merupakan salah-satu dari ternak perah yang mampu merubah makanan menjadi air susu yang sangat bermanfaat bagi anak-anaknya maupun bagi manusia. Sapi perah yang banyak dipelihara adalah sapi jenis Fries Holland (FH), sedangkan di Indonesia lebih banyak ditemukan sapi Peranakan Friesien Holstein ( PFH ), yang merupakan hasil persilangan antara sapi Friesien Holstein ( FH ) dengan sapi lokal yang ada di Indonesia (Siregar, 1998). Dijelaskan lebih lanjut bahwa sapi PFH ini mempunyai ciri-ciri fisik mirip sapi FH antara lain yaitu warna belang hitam putih, tanduk pendek yang menjurus ke depan, pada dahi terdapat warna putih yang berbentuk segitiga dan mempunyai sifat tenang dan jinak. Sapi PFH digolongkan sebagai ternak tipe dwiguna, yaitu sebagai penghasil susu sekaligus sebagai penghasil daging dengan persentase karkas dapat mencapai 59,3 % ( Suprayogi, 1989 ). Sapi PFH sangat menonjol karena banyaknya jumlah produksi susu namun kadar lemaknya rendah, kapasitas perut besar sehingga mampu menampung pakan banyak, mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengubah pakan menjadi susu (Blakely dan Bade, 1994).
Sapi Jersey merupakan jenis sapi perah yang berasal sari Inggris bagian selatan (Girisonta, 1995). Karakteristiknya yaitu memiliki warna coklat muda tatapi pada bagian badab tertentu kadang-kadang ada warna putihnya, tanduk menjurus agak ke atas dengan ukuran sedang, sifatnya kurang tenang, lebih mudah tergangu oleh perubahan disekitar, tahan terhadap panas, bobot badan sapi jantan 625 kg betina 425 kg dengan produksi susu 2500 liter dalam satu masa laktasi (Syarief dan Bagus, 2011).

2.2.     Manajemen Pemeliharaan

Pemeliharaan sapi perah meliputi pemeliharaan sapi dara dan bunting, pemeliharaan sapi laktasi, pemeliharaan sapi kering kandang dan pemeliharaan pedet (Blakely dan Bade, 1994). Sapi memerlukan pemeliharaan badan, antara lain. a) daki, lapisan kulit paling atas adalah lapisan kulit mati sehingga kulit akan mengeluarkan peluh yang bercampur bau hingga kulit kotor oleh daki. b) kotoran, sapi akan membuang kotoran setiap waktu dan akan berbaring di tempat tersebut maka kotoran harus dibersihkan. Perawatan kulit bisa dilakukan dengan jalan memandikan dan menyikat kulit sapi tersebut setiap pagi jika ada bulu-bulu yang tebal dan tumbuh di daerah ambing, kaki belakang serta lipatan paha belakang untuk menghindarkan melekatnya kotoran yang tebal (Muldjana, 1985).
2.2.1.   Manajemen pedet
Pedet yang baru lahir dikeringkan dengan cara membiarkan induk menjilati pedetnya sehingga pedet tidak kedinginan apabila cuaca dalam keadaan dingin (Blakely dan Bade, 1994). Pedet yang baru lahir perlu disiapkan kandang dengan memberi alas berupa jerami kering / serbuk gergaji dengan tujuan pedet tidak terpeleset sehingga menimbulkan luka (Williamson dan Payne, 1993). Masa lepas sapih berarti pedet sudah tidak mendapatkan susu lagi dari induk sehingga untuk memenuhi kebutuhannya dibutuhkan pakan yang dapat menggantikan kebutuhan akan susu tersebut (Muldjana, 1985).
2.2.2.   Manajemen sapi dara
Sapi dara adalah sapi pada masa antara lepas sapih sampai laktasi pertama kali yaitu berkisar antara umur 12 minggu sampai dengan 2 tahun (Ensminger, 1992). Pada masa lepas sapih, berarti sapi sudah tidak mendapatkan susu lagi dari induk sehingga untuk memenuhi kebutuhannya dibutuhkan pakan yang dapat menggantikan kebutuhan akan susu tersebut. Jadi, pada perawatan sapi dara dan bunting lebih diutamakan pemberian pakan yang tepat yang nantinya dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal (Siregar, 1998).

2.2.3.   Manajemen  sapi laktasi

Pakan diperlukan oleh sapi laktasi untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi susu. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Konsentrat berpengaruh terhadap kadar berat jenis susu dan produksi, sehingga semakin tinggi nilai konsentrat berat jenis susu akan tinggi, sedangkan hijauan akan berpengaruh terhadap kualitas susu yang dihasilkan terutama lemak yang dihasilkan (Soedono dan Sutardi, 2003). Permulaan laktasi, bobot badan akan mengalami penurunan, karena sebagian dari zat-zat makanan yang dibutuhkan untuk pembentukan susu diambil dari tubuh sapi. Pada saat itu juga sapi laktasi mengalami kesulitan untuk memenuhi zat-zat makanan yang dibutuhkan sebab nafsu makannya rendah, oleh karena itu pemberian ransum terutama konsentrat harus segera ditingkatkan begitu nafsu makannya membaik (Siregar, 1998).

2.3. Manajemen pakan


Pakan sapi perah terdiri dari hijauan leguminosa dan rumput yang berkualitas baik serta dengan konsentrat tinggi kualitas dan palatabel (Blakely dan Bade, 1994). Pemberian pakan dimaksudkan agar sapi dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus untuk pertumbuhan dan reproduksi. Pemberian pakan hendaknya mencukupi kebutuhan dan harus efisien, sehingga tidak menimbulkan kerugian (Djarijah, 1996). Setiap hari sapi memerlukan pakan kira-kira sebanyak 10% dari berat badannya dan juga pakan tambahan 1-2% dari berat badan (Hartadi, et al,. 1993). Kebutuhan BK ternak meningkat sesuai dengan bertambahnya produksi susu (Williamsom dan Payne, 1993).
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan ransum sapi adalah a) makanan cukup mengandung protein, karbohidrat dan lemak, b) perlu diperhatikan efek dari bahan makanan ternak, c) ransum tersusun dari bahan makanan ternak (Lubis, 1963). Ransum ternak besar (sapi) terdiri dari 60% hijauan dan 40% limbah pengolahan pangan (bekatul dan bungkil), sedangkan pemberian pakan konsentrat hendaknya sebelum hijauan, bertujuan untuk merangsang pertumbuhan mikrobia rumen (Reksohadiprojo, 1984). Untuk mendapatkan pakan sapi perah yang berkoefisien cerna tinggi dan murah harganya, maka pakan yang diberikan 60% dari hijauan dan 40% dari konsentrat (Soedono dan Sutardi, 2003).
Konsentrat adalah pakan ternak yang berasal dari biji-bijian atau hasil samping dari pengolahan suatu produk, misalnya bungkil kacang, bungkil kedelai, bungkil kelapa, dedak padi, dan lain-lain (Darmono, 1993). Bahan pakan konsentrat mengandung kadar serat kasar rendah dan mudah dicerna, tersusun atas bijian dan limbah olahan hasil pertanian (Soedono dan Sutardi, 2003).
   Campuran konsentrat terdiri dari bahan yang mengandung protein dan energi, dengan kandungan protein bervariasi antara 12-18% protein kasar, yang paling umum dipakai 14-16% berdasarkan bahan kering (Blakely dan Bade, 1994). Pemberian konsetrat adalah 1 kg untuk tiap 4 kg susu yang dihasilkan. Pemberian konsentrat hendaknya sebelum hijauan, karena untuk merangsang mikroba rumen. Konsentrat sebaiknya diberikan sebelum pemerahan agar mikroba dalam rumen dapat memanfaatkan karbohidrat sehingga dapat dicerna (Lubis, 1963).
Pemberian pakan kasar berupa hijauan dilakukan setelah pemerahan, agar tidak mengganggu mutu air susu (Supardi, 1981). Hal ini dilakukan karena apabila pemberian hijauan dilakukan pada pagi hari sebelum pemerahan bisa mengakibatkan terganggunya proses pemerahan, karena proses pencernaan hijauan pada sapi berlangsung sangat lama. Hijauan merupakan pakan utama sapi perah yang pada umumnya terdiri dari hijauan segar ataupun jenis legum maupun rumput (Muldjana, 1985). Kebutuhan hijauan sapi perah sebesar 2,5 pound (1,1 kg) per 100 pound  (45 kg) bobot badan. Apabila hijauan segar yang diberikan, maka jumlahnya tiga kali lebih besar (Ensminger, 1992). Lebih lanjut dikatakan bahwa ketentuan jumlah pakan tersebut didasarkan pada kapasitas sistem pencernaan.
Air penting artinya bagi tubuh, terutama untuk peredaran bahan dan sari makanan keseluruh tubuh, air juga penting dalam proses pernafasan dan pengaturan panas tubuh (Soelistiyono,1976). Konsumsi air minum sapi perah laktasi dipengaruhi oleh ukuran tubuh, produksi susu yang dihasilkan, kelembaban udara dan kadar air pakan. Pemberian air minum pada sapi perah dilakukan secara add libitum  (Muldjana, 1985).

2.4. Manajemen pemerahan
Tujuan dari pemerahan adalah menjaga agar sapi tetap sehat dan ambing tidak rusak, karena pelaksanaan pemerahan yang kurang baik, mudah sekali menimbulkan kerusakan pada ambing dan putting karena infeksi mastitis yang sangat merugikan hasil susu. Dan ju     ga untuk mendapatkan susu yang maksimal dari ambing (Blakely dan Bade, 1994). Sistem pemerahan pada sapi perah ada 2 macam yaitu pemerahan dengan mesin dan pemerahan dengan cara manual (menggunakan tangan). Pemerahan dengan tangan terdapat 3 cara pemerahan yaitu “Whole hand”, “Strippen”, dan “Knivelen” (Sindoeredjo, 1960).

2.4.1. Fase persiapan

Fase persiapan yang harus dilakukan antara lain sapi yang akan diperah harus dibersihkan dari segala macam kotoran, tempat dan peralatan harus telah disediakan dan dalam keadaan yang bersih ( Muljana ,1985). Peralatan yang harus disediakan adalah ember tempat pemerahan susu, bangku kecil untuk pemerah, tali tambang pengikat kaki sapi perah, milk can untuk penampung susu, saringan untuk menyaring susu dari kotoran dan bulu-bulu sapi. Selanjutnya menenangkan sapi, mengikat ekornya dan mencuci ambing dengan air hangat serta melakukan massage untuk merangsang keluarnya air susu. Sebelum pemerahan dimulai, pemerah harus melakukan cuci tangan dengan bersih dan mengeringkannya. (Siregar, 1998). Pemerahan yang baik dapat diatur antara 11-13 jam, 10-14 jam  jika ada interval selain itu tidak dianjurkan karena perbedaan yang terlalu besar akan berpengaruh buruk terhadap produksinya. Adanya jarak pemerahan akan menyebabkan produksi susu di pagi hari lebih tinggi dibandingkan dengan produksi susu di siang hari (Syarif dan Sumoprastowo, 1985).
 Adnan (1984), menyatakan bahwa untuk menjaga agar kandungan bakteri dalam susu segar dapat serendah mungkin, semua peralatan yang dipakai untuk penanganan air susu segar harus diusahakan tetap bersih. (Sugeng, 1992) menambahkan bahwa langkah-langkah sebelum melakukan pemerahan yaitu: a) cuci alat-alat dengan air pada suhu 50 derajat atau lebih; b) pembersihan dikerjakan dengan deterjen alkali atau deterjen asam; c) kemudian alat-alat tersebut dicuci lagi dengan air hangat untuk menghilangkan residu yang telah dapat dilepaskan oleh deterjen.

2.4.2.  Fase pemerahan
Pemerahan sapi dapat dilakukan dengan menggunakan mesin pemerah atau dengan tangan. Proses pemerahan yang baik, dilakukan dalam interval yang teratur, cepat, lembut, pemerahan dilakukan sampai tuntas, dan menggunakan prosedur sanitasi, serta efisien dalam penggunaan tenaga kerja (Prihadi, 1996). Menurut Muljana (1985), pemerahan manual (dengan tangan) dilakukan dengan memegang pangkal puting susu antara ibu jari dan jari tengah, kemudian kedua jari kita tekan pelan dan menariknya ke bawah hingga air susu keluar, dan cara yang mempergunakan lima jari yaitu ibu jari diatas dan keempat jari lainnya memegang puting dan menarik-nariknya dengan pelan hingga air susu dapat keluar dengan baik. Proses pemerahan dengan mesin, menggunakan bentuk mesin yang menyerupai cakar (claw) dengan empat mangkuk puting (teatcups) berbentuk tabung yang terbuat dari besi dan karet, tabung vakum dan pulsator (Nugroho, 2008). Syarief dan Bagus (2011) menyatakan bahwa cara kerja mesin perah berbeda dengan pemerahan dengan tangan atau penyedotan oleh pedet. Pengeluaran susu melalui pengisapan oleh sistem vakum mesin, kemudian pulsator akan mengatur mekanisme vakum dan tekanan yang terputus setiap detik. Perbandingan antara waktu tabung membuka dan menutup disebut dengan rasio pulsation . Susu yang sudah keluar dari puting akan disalurkan ke tempat penampungan yang disebut tabung/ ember susu. Susu dari ember susu kemudian dipindahkan ke tangki utama melalui prinsip kerja mekanik pompa. Di dalam tangki susu kemudian didinginkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.

2.4.3.   Pasca pemerahan

Susu setelah diperah harus segera ditampung dan dibawa ke kamar susu. Penanganan susu yang biasa dilakukan adalah penyaringan dan pendinginan. Penyaringan susu bertujuan untuk mendapatkan susu yang terbebas dari kotoran. Selain penyaringan dan pendinginan, pengujian kualitas susu juga dilakukan karena merupakan hal yang penting untuk mengetahui kualitas susu yang dihasilkan (Siregar, 1998). Menurut Sinduredjo (1970) susu yang baik memiliki BJ susu minimal 1,027 pada temperatur 27,6oC, dan kadar lemak berkisar 3%. Sesudah melakukan pemerahan sebaiknya putting dicelupkan dalam larutan disinfektan untuk menghindari terjadinya mastitis (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).

2.5.      Manajemen Perkandangan



Perkandangan yaitu komplek dari suatu sentra kegiatan ternak yang melindungi ternak dari gangguan buruk yang merugikan ternak dan menunjang  seluruh aktivitas ternak seperti kandang, gudang pakan, tempat feses, kantor, mess dan kamar susu ( Girisonta, 1995). Kandang adalah tempat tinggal sapi  selama hidupnya selain itu juga sebagai tempat produksi, kawin dan melahirkan. Tujuan pembuatan kandang tersebut adalah untuk melindungi ternak terhadap gangguan dari luar yang merugikan, misalnya gangguan terik matahari, hujan dan angin yang kencang (Djarijah, 1996). Kandang untuk pemeliharaan sapi harus bersih dan tidak lembab dan kandang dibersihkan setiap hari agar sapi senantiasa bersih dan bebas dari kotoran sehingga susu yang diperoleh tidak rusak dan tercemar (Syarief dan Sumoprastowo, 1985).




2.5.1.   Lokasi Kandang

Penentuan ataupun pemilihan lokasi kandang hendaknya memenuhi ketentuan-ketentuan yaitu tidak berdekatan dengan pemukiman penduduk ataupun bangunan-bangunan umum seperti sekolah, rumah sakit, puskemas, masjid, dan sebagainya, tidak ada rasa keberatan dari pihak masyarakat disekitar; pembuangan air limbah dan kotoran tersalur dengan baik dan persediaan air cukup; letak areal kandang lebih tinggi sekitar 20-30 cm dari lahan sekitarnya; masih memungkinkan untuk perluasan kandang (Siregar, 1998). Lokasi kandang sapi perah yang bagus yaitu sekitar 1-2 kilometer dari permukiman penduduk atau tempat keramaian hal ini bertujuan untuk menghindari bau yang tidak sedap yang membuat tidak nyaman, agar sapi tidak stress sehingga produksi susu tetap bagus, diusahakan lokasi kandang dengan sumber air dekat agar mudah dalam proses sanitasi, mandikan sapi dan lokasi kandang mudah dijangkau sehingga dalam proses pengiriman susu dan pakan tidak mengalami hambatan (Girisonta, 1995). Suhu yang optimal untuk pemeliharaan sapi PFH adalah 10 – 27oC (Abidin, 2002).

2.5.2. Kontruksi Kandang


Pembuatan kandang harus memperhatikan beberapa persyaratan pokok  yang utama yaitu konstruksi kandang yang meliputi  ukuran, bahan-bahan yang digunakan dan perlengkapan kandang (Untung, 1996). Bangunan kandang harus memberikan jaminan hidup yang sehat, nyaman dan tidak menimbulkan kesulitan dalam meakukan aktivitas ternak sehingga kontruksi kandang harus kokoh, tidak membahayakan sapi atau peternaknya. Bahan yang biasa digunakan untuk tempat, tempat minum, penampungan limbah terbuat dari bangunan permanen dari semen dan jika yang tidak permanen terbuat dari kayu atau plastik.  Atap kandang bisa dibuat dari genteng, seng, asbes, daun kelapa ataupun dari bahan lain. Tinggi atap dari genting 4,5 m untuk dataran rendah dan menengah dan 4 m untuk dataran tinggi. Tinggi plafon teras berkisar antara 1,75–2,20 m, lebar teras sekitar 1 m (Siregar, 1998).
 Bahan-bahan yang bisa digunakan sebagai dinding adalah anyaman bambu, papan atau bata, ketinggian dinding sebaiknya diperhatikan, yaitu harus setinggi atau lebih tinggi dari tubuh ternak sapi (kurang lebih 2 m), karena berhubungan dengan pengaturan ventilasi dan masuknya sinar matahari sehingga tidak terhalang oleh dinding, tinggi kandang dari lantai sekitar 125-150 cm (Syarief dan Sumoprastowo, 1984). Lantai kandang sebaiknya dibuat dari bahan yang cukup keras dan tidak licin untuk dapat menjaga kebersihan dan kesehatan kandang. Tempat pakan dibuat memanjang sepanjang kandang dan diusahakan sapi dapat mengambil pakan yang disediakan. Tempat minum porsi yang cukup untuk ternak dan bisa dibuat disebelah pakan, namun juga harus diperhatikan cara pergantiannya agar terhindar dari kontaminasi pakan yang tercecer oleh ternak (Darmono, 1993).

2.5.3. Tipe Kandang
            Kandang sapi perah dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu: kandang tipe tunggal merupakan tipe kandang yang memiliki bentuk atap tunggal atau berdiri satu baris kandang dengan demikian sapi yang ditempatkan dikandang ini mengikuti bentuk atap yang hanya satu baris dan kandang tipe ganda merupakan kandang yang memiliki bentuk atap kanda atau dua baris yang saling berhadpan sehingga sapi yang berada dalam kandang ini berdiri dua baris dengan posisi saling berhadapan atau dengan saling bertolak belakang (Girisonta, 1995).

2.5.4.   Sanitasi dan Penanganan Limbah

            Penyakit pada sapi perah akan dapat menimbulkan kerugian ekonomis yang tidak sedikit yaitu terlambatnya pertumbuhan sapi muda dan kematian (Siregar, 1998). Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk pencegahan penyakit antara lain karantina ternak yang sakit, vaksinasi, penjagaan kebersihan kandang dan peralatan, drainase yang lancar serta lantai yang tidak dingin dan tidak lembab (Soedono dan Sutardi, 2003).
            Usaha pemeliharaan kesehatan dilakukan melalui kebersihan kandang, kebersihan ternak, peralatan dan petugas kandang. Gerak badan atau exercise diperlukan oleh sapi kering kandang setiap hari selama 1-2 jam di lapangan untuk mendapatkan sinar matahari. Program kesehatan dalam peternakan sapi perah harus dijalankan secara teratur, terutama di wilayah yang sering terjadi penyakit menular, seperti TBC, brucellosis, penyakit mulut dan kuku, dan radang limpa. Pemeliharaan yang tidak baik dapat menyebabkan kematian pada anak sapi, terutama yang baru berumur 2 – 3 minggu (Sudono dan Sutardi, 2003). Kandang yang baik harus memiliki saluran pembuangan limbah atau feses sapi. Saluran pembuangan limbah yang ideal adalah dengan lebar 30 cm, yang berfungsi untuk mengalirkan kotoran sapi ke saluran biogas (bila di peternakan terdapat instalasi biogas) atau ke saluran penampungan kotoran untuk dijual sebagai pupuk kandang (Syarief dan Bagus, 2011).

2.6.      Manajemen Perkawinan

            Perkawinan merupakan cara perkembangbiakan dengan cara dikawinkan, baik secara alami maupun buatan. Perkawinan secara buatan dilakukan dengan bantuan IB (Inseminasi Buatan). Proses perkawinan akan berhasil jika didukung oleh tiga hal yaitu pakan, kondisi sapi, lingkungan. Perkawinan secara buatan atau IB maka yang berpengaruh untuk keberhasilan proses perkawinan yaitu inseminator, sperma, pakan dan kondisi ternak diusahakan dalam kondisi benar-benar dalam kondisi berahi (Girisonta, 1995).  Perkawinan yang tepat bagi sapi yang sedang berahi dilakukan pada masa-masa subur. Masa subur yang dialami sapi perah berlangsung selama 15 jam, masa subur ini dicapai 9 jam sesudah tanda-tanda berahi terlihat dan 6 jam sesudah berahi itu berakhir. Ovulasi terjadi 10-12 jam sesudah berahi terakhir. Perkawinan kembali setelah melahirkan yaitu dilakukan setelah 60-90 hari harus dilakukan perkawinan kembali karena jika terlalu lama maka perkawinan berikutnya lama dan jarak kelahiran berikutnya terlalu panjang (Ensminger, 1992).
2.6.      Recording
Dasar utama dalam program pemuliabiakan yang baik adalah dengan mencatat produksi setiap sapi (recording) (Ensminger, 1992). Pencatatan prestasi produksi adalah merupakan segi tata laksana yang penting untuk dapat digunakan dalam melaksanakan seleksi yang mantap (Syarief dan Sumoprastowo, 1985).
Recording melalui pengafkiran dan program seleksi agar dapat menghilangkan faktor genetik yang buruk dan mengacu pada genetik yang lebih superior, pencatatan susu dan lemak juga merupakan salah satu kunci kepada pemberian pakan sapi perah (Ensminger, 1992). Pencatatan tidak lepas dari salah satu pelaksanaan pemberian tanda pengenal berupa ; nomor telinga, tanduk, tato, cap bakar, kalung bernomor dan sebagainya (Syarief dan Sumoprastowo, 1985).
















BAB III
METODOLOGI
            Praktikum Manajemen Ternak Perah yang dilaksanakan pada hari Minggu 13 Mei 2012 pukul 15.00 WIB – Senin 14 Mei 2012 pukul 15.00 WIB di Farm Sapi Perah Koperasi Serba Usaha (KSU),Tuntang, Salatiga.
3.1.   Materi

Materi yang digunakan dalam praktikum ini adalah sapi  perah. Alat yang digunakan adalah termometer yang berfungsi untuk mengukur suhu makro dan mikro, bucket milking module untuk menampung susu, timbangan untuk menimbang pakan, ember untuk menampung air pada saat sanitasi, sekop sebagai alat bantu mengangkat pakan, copper untuk memotong hijauan, gerobak sorong untuk mengankut pakan dan pita ukur untuk mengukur perkandangan.
3.2.   Metode

            Metode yang dilakukan dalam praktikum meliputi wawancara dengan manager farm dan pekerja, serta dengan berpartisipasi langsung dalam farm tersebut. Wawancara dengan manager farm, antara lain mengenai manajemen pemerahan yang meliputi pengukuran rata-rata produksi susu harian sapi laktasi dengan mengukur produksi susu tiap puting dan pencatatan waktunya. Manajemen perkandangan meliputi pengamatan, pengukuran kandang dengan menggunakan pita ukur dan pencatatan kandang sapi perah dan sarana pendukung lainnya seperti selokan, tempat pakan, tempat sapi, gudang penyimpanan bahan pakan, tempat pengambilan air, tempat air minum, ventilasi kandang dan denah kandang. Manajemen pakan meliputi frekuensi dan jumlah pemberian pakan dan air minum. Recording meliputi pencatatan produksi susu, kesehatan, pakan dan iklim.




                         



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.      Keadaan Umum
            Farm Sapi Perah Koperasi Serba Usaha (KSU) terletak di daerah Tuntang, Salatiga yang memiliki suhu yang optimal untuk pemeliharaan sapi PFH, yaitu 26oC. Keadaan farm ini sudah cukup baik, karena terletak jauh dari pemukiman penduduk sehingga masyarakat di sekitar farm tidak terganggu dengan aktivitas maupun dampak yang ditimbulkan dari farm. Farm juga telah dilengkapi dengan mess, tetapi untuk gudang pakan dan peralatan lain masih diletakkan menjadi satu dengan kandang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Siregar (1998) yang menyatakan bahwa pemilihan lokasi kandang hendaknya memenuhi ketentuan-ketentuan yaitu tidak berdekatan dengan pemukiman penduduk ataupun bangunan-bangunan umum seperti sekolah, rumah sakit, puskemas, masjid, dan sebagainya, tidak ada rasa keberatan dari pihak masyarakat disekitar; pembuangan air limbah dan kotoran tersalur dengan baik dan persediaan air cukup; letak areal kandang lebih tinggi sekitar 20-30 cm dari lahan sekitarnya; masih memungkinkan untuk perluasan kandang. Abidin (2002) menambahkan bahwa suhu optimal untuk pemeliharaan sapi PFH adalah berkisar antara 20 – 27oC.



4.2.      Manajemen pemeliharaan
4.2.1.   Manajemen pemeliharaan pedet
Berdasarkan hasil praktikum manajemen pemeliharaan pedet meliputi pemberian susu dari induknya dimana pedet tidak menyusu secara langsung pada induknya, tetapi diberi susu dengan menggunakan ember susu. Pedet yang ada saat praktikum belum mengalami lepas sapih. Menurut Muljana (1985) masa lepas sapih berarti sapi sudah tidak mendapatkan susu lagi dari induk sehingga untuk memenuhi kebutuhannya dibutuhkan pakan yang dapat menggantikan kebutuhan akan susu tersebut. Ensminger (1992) menambahkan bahwa lepas sapih pedet sekitar antara 2-3 bulan sedangkan pemisahan pedet bisa dilakukan satu minggu pertama tetapi pedet tetap diberi susu sesuai dengan kebutuhan pedet.
4.2.2.   Manajemen pemeliharaan sapi dara
Berdasarkan praktikum bahwa sistem pemberian pakan pada sapi dara sama dengan dengan sapi yang lain namun kapasitas yang berbeda yaitu lebih banyak konsentrat untuk tujuan masa siap dikawinkan atau bunting awal. Pemberian pakan pada sapi dara akan sangat mempengaruhi perkembangan sapi dara, baik perkembangan bagian tubuhnya maupun alat reproduksinya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ensminger (1992) yang menytakan bahwa sapi dara adalah sapi pada masa antara lepas sapih sampai laktasi pertama kali yaitu berkisar antara umur 12 minggu sampai dengan 2 tahun. Siregar (1998) menambahkan bahwa pada masa lepas sapih, berarti sapi sudah tidak mendapatkan susu lagi dari induk sehingga untuk memenuhi kebutuhannya dibutuhkan pakan yang dapat menggantikan kebutuhan akan susu tersebut. Jadi, pada perawatan sapi dara lebih diutamakan pada pemberian pakan yang tepat yang nantinya dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
4.2.3.   Manajemen pemeliharaan sapi laktasi

Berdasarkan praktikum bahwa pemeliharaan sapi laktasi meliputi pemberian pakan dan air minum, pencatatan produksi susu, pembersihan badan khususnya ambing.Pemberian pakan pada sapi laktasi lebih banyak pemberian rumput dibandingujuankan konsentrat, untuk tujuan produksi susu.  Hal ini sesuai dengan pendapat Soedono dan Sutardi (2003) menyatakan bahwa pakan diperlukan oleh sapi laktasi untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi susu, pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Sindorejo (1960) menambahkan untuk sapi perah yang laktasi  pemberian pakan antara konsentrat dibandingkan hijauan lebih banyak karena untuk menunjang produksi susu.
4.3.      Manajemen pakan
            Berdasarkan hasil praktikum pakan yang diberikan rumput gajah dan konsentrat berupa complete feed. Rumput gajah diberikan dua kali sehari setelah pemerahan pagi dan sore dengan rumput yang sudah dicopper antara 5-10 cm. Menurut Soedono dan Sutardi (2003), bahwa untuk mendapatkan pakan sapi  perah yang berkoefisien cerna tinggi  dan murah harganya, maka pakan yang diberikan sebanyak-banyaknya 60% dari hijauan untuk menyediakan serat kasar bagi ternak atau untuk produksi energi dan 40% dari konsentrat untuk meningkatkan palatabilitas pakan dan untuk memaksimalkan kerja mikroba rumen. Konsentrat juga diberikan dua kali sehari. Menurut Blakely dan Bade (1994), fungsi utama dari pemberian konsentrat adalah mensuplai energi tambahan yang diperlukan untuk produksi susu secara maksimum dan mengatur atau menyesuaikan tingkat protein suatu ransum tertentu.
Pemberian minum secara ad libitum. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1994) bahwa pada pemeliharaan sapi perah, air minum harus selalu tersedia karena air mempunyai fungsi yang sangat vital. Fungsi dari air untuk sapi perah adalah sebagai zat pelarut dan pengangkut zat pakan, membantu proses pencernaan, penyerapan dan pembuangan hasil metabolisme, memperlancar reaksi kimia dalam tubuh, pengatur suhu tubuh dan membantu kelancaran kerja syaraf panca indera.

4.4.                  Manajemen pemerahan
4.4.1.   Pra pemerahan
Persiapan pemerahan yang dilakukan meliputi memandikan sapi perah, penyiapan alat-alat pemerahan dan pembersihan kandang.  Pembersihan kandang dilakukan dengan menyiram lantai kandang, pembuangan kotoran dengan menyemprotkan air sehingga lantai kandang menjadi bersih. Pembersihan kandang merupakan salah satu langkah yang dilakukan untuk menjaga kualitas susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Soedono dan Sutardi (2003) yang menyatakan bahwa pembersihan kandang bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang dapat menyebabkan terkontaminasinya susu oleh bakteri dan akan mempengaruhi susu dimana kotoran tersebut dapat menimbulkan bau yang bisa terserap oleh susu bahwa sebelum pemerahan dimulai kandang sapi harus bebas dari kotoran, hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas susu bahwa daerah di sekitar pemerahan harus bersih dan bebas dari bau sebelum sapi tersebut diperah. Memandikan sapi dilakukan satu kali sehari karena sapi harus selalu bersih setiap kali akan diperah, terutama bagian daerah lipatan paha sampai belakang tubuh sapi dan sebaiknya sapi-sapi perah dimandikan sekurang-kurangnya satu kali sehari. Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1985), cara pemandian sapi yaitu dengan menyiram tubuh sapi dengan menggunakan air  bersih yang dialirkan dari selang kemudian digosok dengan sikat untuk menghilangkan kotoran dan rambut rontok yang menempel.

4.4.2.   Proses pemerahan
Selama praktikum, pemerahan dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi hari pada pukul 07.00 WIB dan sore hari pukul 15.00 WIB . Pemerahan dilakukan dengan menggunakan tangan dan mesin. Pemerahan dengan tangan dilakukan dengan metode strippen. Hal ini sesuai dengan pendapat Sindoredjo (1960) yang menyatakan bahwa pemerahan dengan tangan dapat dilakukan dengan 3 cara pemerahan yaitu Whole hand, Strippen dan Knivelen.  Nugroho (2008) menambahkan bahwa proses pemerahan dengan mesin, menggunakan bentuk mesin yang menyerupai cakar (claw) dengan empat mangkuk puting (teatcups) berbentuk tabung yang terbuat dari besi dan karet, tabung vakum dan pulsator.


4.4.3.   Pasca pemerahan
Penanganan setelah pemerahan pada ambing dan puting tidak dilakukan. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Syarief dan Sumoprastowo (1985) yang menyatakan bahwa sesudah selesai diperah puting dicelupkan pada larutan sanitasi untuk menghindari penyakit mastitis. Susu yang telah diperah segera ditampung dan dibawa ke kamar susu tanpa dilakukan penyaringan terlebih dulu. Hal ini kurang sesuai dengan pendapat Siregar (1998) yang menyatakan bahwa, penanganan susu yang biasa dilakukan adalah penyaringan susu yang bertujuan untuk mendapatkan susu yang terbebas dari kotoran.

4.5.      Manajemen perkandangan
4.5.1.   Lokasi
Berdasarkan hasil praktikum, Farm Sapi Perah Koperasi Serba Usaha (KSU) terletak di daerah Tuntang, Salatiga yang memiliki suhu yang optimal untuk pemeliharaan sapi PFH, yaitu 26oC. Farm terletak sekitar perkebunan cengkeh dan jauh dari pemukiman penduduk. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Girisonta (1995) yang menyatakan bahwa lokasi kandang sapi perah yang bagus yaitu sekitar 1-2 kilometer dari permukiman penduduk atau tempat keramaian hal ini bertujuan untuk menghindari bau yang tidak sedap yang membuat tidak nyaman, agar sapi tidak stress sehingga produksi susu tetap bagus, diusahakan lokasi kandang dengan sumber air dekat agar mudah dalam proses sanitasi, mandikan sapi dan lokasi kandang mudah dijangkau sehingga dalam proses pengiriman susu dan pakan tidak mengalami hambatan. Abidin (2002) menambahkan bahwa suhu yang optimal untuk pemeliharaan sapi PFH adalah 10 – 27oC.

4.5.2.   Konstruksi kandang
Berdasarkan praktikum Manajemen Ternak Perah di farm, diperoleh hasil bahwa kandang dengan tipe terbuka yang memiliki dinding dari semen, lantai terbuat dari semen dan atap dari seng. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Siregar (1998) yang menyatakan bahwa atap kandang bisa dibuat dari genteng, seng, asbes, daun kelapa ataupun dari bahan lain. Syarief dan Sumoprastowo (1984) menambahkan bahwa bahan-bahan yang bisa digunakan sebagai dinding adalah anyaman bambu, papan atau bata, ketinggian dinding sebaiknya diperhatikan, yaitu harus setinggi atau lebih tinggi dari tubuh ternak sapi (kurang lebih 2 m), karena berhubungan dengan pengaturan ventilasi dan masuknya sinar matahari sehingga tidak terhalang oleh dinding, tinggi kandang dari lantai sekitar 125-150 cm. Darmono (1993) menyatakan bahwa lantai kandang sebaiknya dibuat dari bahan yang cukup keras dan tidak licin untuk dapat menjaga kebersihan dan kesehatan kandang.

4.5.3.   Tipe kandang
Berdasarkan hasil praktikum, kandang sapi menggunakan sistem kandang setengah terbuka dan dibuat dua baris sejajar dengan gang di tengah.. Bentuk ini pandangannya luas dan terbuka, mudah dalam pengawasan. Hal ini sesuai dengan pendapat Syarief dan Sumoprestowo (1990) bahwa kandang dengan sistem gang ditengah akan memberikan ketenangan ternak yang tinggal di dalamnya, tidak mudah terganggu oleh ternak yang lain atau oleh petugas yang sedang melakukan pekerjaan. Luas kandang total adalah 888 m2, yang terdiri dari panjang 37 m dan lebar 24 m. Palung pakan dan palung minum memiliki panjang 15,3 m, lebar 70 cm, dan tinggi palung 1,5 m. Kandang sapi memiliki memiliki palung pakan sehingga memudahkan sapi mengambil pakannya dan memberikan kemudahan pekerja dalam membersihkannya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Siregar (1998), bahwa tempat pakan sebaiknya dibuat berupa palung agar memperudah ternak mengambil makanannnya dan mudah dibersihkan.  .
            Selokan kandang sudah sesuai dengan ketentuan dan menuju ke tempat pembuangan limbah secara lancar dengan kedalaman awal (hulu) 20 cm dan kedalaman akhir (hilir) 15 cm, dan memiliki lebar 30 cm. Keadaan selokan seperti tersebut, maka kotoran akan lancar sampai ke tempat pembuangan akhir dan jika kotoran dalam bentuk padat yang memerlukan bantuan sekop untuk mengalirkannya, maka akan mudah, karena lebar sudah sesuai dengan lebar sekop.  Hal ini sesuai dengan pendapat Syarief dan Sumoprastowo (1990), bahwa selokan harus lancar sampai ke pembuangan akhir.  

4.5.4.   Sanitasi dan penanganan limbah
            Berdasarkan praktikum, sanitasi dilakukan pada pagi dan sore hari sebelum proses pemerahan berlangsung. Sanitasi dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kebersihan sapi dan wilayah perkandangan agar terhindar dari penyakit yang dapat membahayakan ternak. Sehingga diperlukan saluran untuk pembuangan limbah, agar kebersihan kandang tetap terjaga. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Soedono dan Sutardi (2003) yang menyatakan bahwa beberapa hal yang perlu dilakukan untuk pencegahan penyakit antara lain karantina ternak yang sakit, vaksinasi, penjagaan kebersihan kandang dan peralatan, drainase yang lancar serta lantai yang tidak dingin dan tidak lembab. Syarief dan Bagus (2011) menambahkan bahwa kandang yang baik harus memiliki saluran pembuangan limbah atau feses sapi. Saluran pembuangan limbah yang ideal adalah dengan lebar 30 cm, yang berfungsi yntuk mengalirkan kotoran sapi ke saluran biogas (bila di peternakan terdapat instalasi biogas) atau ke saluran penampungan kotoran untuk dijual sebagai pupuk kandang.

4.6.      Manajemen perkawinan
            Berdasarkan hasil praktikum, manajemen perkawinan di Farm tersebut menggunakan sistem Inseminasi Buatan (IB), hal ini dilakukan karena lebih efisien, karena dengan IB akan menghemat waktu perkawinan dan service per conception atau jumlah perkawinan hingga memperoleh kebuntingan pada sapi akan lebih rendah. Tetapi, berhasil atau tidaknya suatu IB dipengaruhi oleh pakan, inseminator dan sperma yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Girisonta (1995) yang menyatakan bahwa Perkawinan secara buatan atau IB maka yang berpengaruh untuk keberhasilan proses perkawinan yaitu inseminator, sperma, pakan dan kondisi ternak diusahakan dalam kondisi benar-benar dalam kondisi berahi.
4.7.      Recording

Berdasarkan praktikum, diperoleh hasil bahwa pencatatan status ternak dilakukan dengan menggunakan pemberian tanda pada telinga (eartag) dan pencatatan lainnya yaitu : catatatan produksi susu, catatan kesehatan ternak, catatan reproduksi dan perkawinan ternak, dan catatan ransum dan perubahan ransum yang selanjutnya disimpan dalam kartu ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Ensminger (1992) yang menyatakan, recording melalui pengafkiran dan program seleksi agar dapat menghilangkan faktor genetik yang buruk dan mengacu pada genetik yang lebih superior, pencatatan susu dan lemak juga merupakan salah satu kunci kepada pemberian pakan sapi perah. Ditambahkan oleh Syarief dan Sumoprastowo (1985), pencatatan tidak lepas dari salah satu pelaksanaan pemberian tanda pengenal ternak berupa; nomor telinga, tanduk, tato, cap bakar, kalung bernomor dan sebagainya.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.      KESIMPULAN
            Manajemen pemeliharaan meliputi pemeliharaan sapi laktasi, bunting dan pedet. Pakan sapi perah meliputi rumput dan konsentrat dengan pemberian 2 kali sehari. Pakan yang diberikan telah mencukupi kebutuhan ternak untuk hidup pokok dan untuk produksi susu. Frekuensi pemerahan dilakukan dua kali sehari pada pukul 07.00 WIB dan 15.00 WIB. Manajemen perkandangan yang ada juga memudahkan pekerja dalam memberikan pakan dan minum untuk ternak, serta dalam melakukan proses sanitasi. Kandang yang digunakan dapat dikatakan telah sesuai untuk pemeliharaan ternak perah, karena lokasinya sudah baik, dekat dengan sumber air dan jauh dari pemukiman penduduk.
5.2.      SARAN
            Sebaiknya kebersihan kandang harus ditingkatkan untuk mencegah berkembang biaknya penyakit. Manjemen pakan juga harus diperhatikan agar bobot badan sapi bertambah dengan pakan yang tidak berlebihan sehingga dapat membantu meningkatkan produksi susu sapi.




DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Blakely, J dan Bade, D. H. 1994. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh B. Srigandono).

Nugroho, C. P. Agribisnis Ternak Ruminansia. PT. Macanan Jaya Cemerlang. Klaten.

Darmono. 1993. Kandang Ternak Perah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Diggins, R.V. and C. E. Bundy, 1979. Dairy Product. Prentice Halls, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.

Djarijah, S.1996. Usaha Ternak Sapi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Ensminger. 1992. Dairy Cattle Science. The Interstate Printer and Publisher. Inc,  Denvile, Illionois.

Girisonta. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisius Yogyakarta.

Hartadi, H., Soedomo R., Allen D. T. 1993. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Lubis, D. A. 1963. Ilmu Makanan Ternak. Yayasan Pembangunan, Jakarta.

Muldjana, W. 1985. Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak sapi Perah. Penerbit Aneka Ilmu, Semarang.

Murtidjo, A. 2006. Beternak Sapi Potong. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Prihadi. 1996. Tata Laksana dan Produksi Sapi Perah. Fakultas Peternakan   Universitas Wangsa Manggala. Yogyakarta.

Sindoeredjo, S. 1960. Pedoman Perusahaan Pemerahan Susu. Direktorat Pengembangan Produksi. Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta.

Siregar, S. 1998. Sapi Perah, Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisis Usaha. Penebar Swadaya, Jakarta.

Soedono, A. dan Sutardi. 2003. Pedoman Beternak Sapi Perah. Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta

Sugeng, Y. B. 2007. Sapi Potong. Penerbit Swadaya, Jakarta.


Sutardi, T. 2003. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Syarief, M. Z dan C.D.A. Sumoprastowo. 1985. Ternak Perah. Yasaguna, Jakarta.

Syarief, E. K. dan Bagus H. 2011. Buku Pintar Beternak dan Bisnis Sapi Perah. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Untung, O. 1996. Membuat Kandang yang Sehat. Puspaswara. Jakarta.

Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh S.G.N. Djiwa Darmadja).

No comments:

Post a Comment