BAB I
PENDAHULUAN
Sapi perah termasuk ternak homeostatis yang mana keadaan fisiologis tubuhnya sangat
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan seperti suhu udara, kelembaban udara dan radiasi
sinar matahari. Keadaan ini yang
menyebabkan sapi perah harus
dipelihara dengan manajemen yang baik agar produksi utamanya yaitu susu dapat
dihasilkan maksimal baik secara kualitas maupun kuantitas.
Susu yang dihasilkan oleh sapi
perah memiliki kandungan nutrien yang komplek sehingga baik untuk dikonsumsi. Pengelolaan sapi perah yang baik
akan menghasilkan susu yang dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Gizi
susu sangat penting untuk membantu
pertumbuhan tubuh.
Tujuan Praktikum Manajemen Ternak Perah
ini adalah agar mahasiswa dapat mempraktikkan manajemen pemeliharaan, manajemen
pakan, manajemen perkandangan, dan manajemen pemerahan. Manfaat yang diperoleh
praktikan adalah diperolehnya keterampilan dalam pengelolaan ternak, pemberian
pakan ternak, sistem perkandangan, maupun keterampilan dalam pemerahan.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Sapi
perah
Sapi perah adalah jenis sapi yang dapat menghasilkan air
susu melebihi dari kebutuhan anaknya dan merupakan salah-satu dari ternak perah
yang mampu merubah makanan menjadi air susu yang sangat bermanfaat bagi
anak-anaknya maupun bagi manusia. Sapi perah yang banyak dipelihara adalah sapi
jenis Fries Holland (FH), sedangkan di Indonesia lebih banyak
ditemukan sapi Peranakan Friesien Holstein ( PFH ), yang merupakan hasil
persilangan antara sapi Friesien Holstein ( FH ) dengan sapi lokal yang ada di
Indonesia (Siregar, 1998). Dijelaskan lebih lanjut bahwa sapi PFH ini mempunyai
ciri-ciri fisik mirip sapi FH antara lain yaitu warna belang hitam putih,
tanduk pendek yang menjurus ke depan, pada dahi terdapat warna putih yang
berbentuk segitiga dan mempunyai sifat tenang dan jinak. Sapi PFH digolongkan
sebagai ternak tipe dwiguna, yaitu sebagai penghasil susu sekaligus sebagai
penghasil daging dengan persentase karkas dapat mencapai 59,3 % ( Suprayogi,
1989 ). Sapi PFH sangat menonjol karena banyaknya jumlah produksi susu namun
kadar lemaknya rendah, kapasitas perut besar sehingga mampu menampung pakan
banyak, mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengubah pakan menjadi susu
(Blakely dan Bade, 1994).
Sapi Jersey merupakan jenis sapi perah yang berasal sari
Inggris bagian selatan (Girisonta, 1995). Karakteristiknya yaitu memiliki warna
coklat muda tatapi pada bagian badab tertentu kadang-kadang ada warna putihnya,
tanduk menjurus agak ke atas dengan ukuran sedang, sifatnya kurang tenang,
lebih mudah tergangu oleh perubahan disekitar, tahan terhadap panas, bobot
badan sapi jantan 625 kg betina 425 kg dengan produksi susu 2500 liter dalam
satu masa laktasi (Syarief dan Bagus, 2011).
2.2. Manajemen Pemeliharaan
Pemeliharaan sapi perah
meliputi pemeliharaan sapi dara dan bunting, pemeliharaan sapi laktasi,
pemeliharaan sapi kering kandang dan pemeliharaan pedet (Blakely dan Bade,
1994). Sapi memerlukan pemeliharaan badan, antara lain. a) daki, lapisan kulit
paling atas adalah lapisan kulit mati sehingga kulit akan mengeluarkan peluh
yang bercampur bau hingga kulit kotor oleh daki. b) kotoran, sapi akan membuang
kotoran setiap waktu dan akan berbaring di tempat tersebut maka kotoran harus
dibersihkan. Perawatan kulit bisa dilakukan dengan jalan memandikan dan
menyikat kulit sapi tersebut setiap pagi jika ada bulu-bulu yang tebal dan
tumbuh di daerah ambing, kaki belakang serta lipatan paha belakang untuk menghindarkan
melekatnya kotoran yang tebal (Muldjana, 1985).
2.2.1. Manajemen pedet
Pedet yang baru lahir dikeringkan dengan
cara membiarkan induk menjilati pedetnya sehingga pedet tidak kedinginan
apabila cuaca dalam keadaan dingin (Blakely dan Bade, 1994). Pedet yang baru
lahir perlu disiapkan kandang dengan memberi alas berupa jerami kering / serbuk
gergaji dengan tujuan pedet tidak terpeleset sehingga menimbulkan luka
(Williamson dan Payne, 1993). Masa lepas sapih berarti pedet sudah tidak
mendapatkan susu lagi dari induk sehingga untuk memenuhi kebutuhannya
dibutuhkan pakan yang dapat menggantikan kebutuhan akan susu tersebut
(Muldjana, 1985).
2.2.2. Manajemen sapi dara
Sapi dara adalah sapi pada
masa antara lepas sapih sampai laktasi pertama kali yaitu berkisar antara umur
12 minggu sampai dengan 2 tahun (Ensminger, 1992). Pada masa lepas sapih,
berarti sapi sudah tidak mendapatkan susu lagi dari induk sehingga untuk
memenuhi kebutuhannya dibutuhkan pakan yang dapat menggantikan kebutuhan akan
susu tersebut. Jadi, pada perawatan sapi dara dan bunting lebih diutamakan
pemberian pakan yang tepat yang nantinya dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal (Siregar, 1998).
2.2.3. Manajemen sapi
laktasi
Pakan diperlukan oleh sapi
laktasi untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi susu. Pakan yang diberikan
berupa hijauan dan konsentrat. Konsentrat berpengaruh terhadap kadar berat
jenis susu dan produksi, sehingga semakin tinggi nilai konsentrat berat jenis
susu akan tinggi, sedangkan hijauan akan berpengaruh terhadap kualitas susu
yang dihasilkan terutama lemak yang dihasilkan (Soedono dan Sutardi, 2003).
Permulaan laktasi, bobot badan akan mengalami penurunan, karena sebagian dari
zat-zat makanan yang dibutuhkan untuk pembentukan susu diambil dari tubuh sapi.
Pada saat itu juga sapi laktasi mengalami kesulitan untuk memenuhi zat-zat
makanan yang dibutuhkan sebab nafsu makannya rendah, oleh karena itu pemberian
ransum terutama konsentrat harus segera ditingkatkan begitu nafsu makannya
membaik (Siregar, 1998).
2.3. Manajemen pakan
Pakan sapi perah terdiri dari hijauan
leguminosa dan rumput yang berkualitas baik serta dengan konsentrat tinggi
kualitas dan
palatabel (Blakely dan Bade, 1994). Pemberian
pakan dimaksudkan agar sapi dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus untuk
pertumbuhan dan reproduksi. Pemberian pakan hendaknya mencukupi kebutuhan dan
harus efisien, sehingga tidak menimbulkan kerugian (Djarijah, 1996). Setiap
hari sapi memerlukan pakan kira-kira sebanyak 10% dari berat badannya dan juga
pakan tambahan 1-2% dari berat badan (Hartadi, et al,. 1993). Kebutuhan
BK ternak meningkat sesuai dengan bertambahnya produksi susu (Williamsom dan
Payne, 1993).
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan
dalam penyusunan ransum sapi adalah a) makanan cukup mengandung protein,
karbohidrat dan lemak, b) perlu diperhatikan efek dari bahan makanan ternak, c) ransum tersusun dari bahan makanan ternak
(Lubis, 1963). Ransum ternak besar
(sapi) terdiri dari 60% hijauan dan 40% limbah pengolahan pangan (bekatul dan
bungkil), sedangkan pemberian pakan konsentrat hendaknya sebelum hijauan,
bertujuan untuk merangsang pertumbuhan mikrobia rumen (Reksohadiprojo, 1984).
Untuk mendapatkan pakan sapi perah yang berkoefisien cerna tinggi dan murah
harganya, maka pakan yang diberikan 60% dari hijauan dan 40% dari konsentrat
(Soedono dan Sutardi, 2003).
Konsentrat adalah pakan ternak yang
berasal dari biji-bijian atau hasil samping dari pengolahan suatu produk,
misalnya bungkil kacang, bungkil kedelai, bungkil kelapa, dedak padi, dan
lain-lain (Darmono, 1993). Bahan pakan konsentrat mengandung kadar serat kasar
rendah dan mudah dicerna, tersusun atas bijian dan limbah olahan hasil
pertanian (Soedono dan Sutardi, 2003).
Campuran
konsentrat terdiri dari bahan yang mengandung protein dan energi, dengan
kandungan protein bervariasi antara 12-18% protein kasar, yang paling umum
dipakai 14-16% berdasarkan bahan kering (Blakely dan Bade, 1994). Pemberian
konsetrat adalah 1 kg untuk tiap 4 kg susu yang dihasilkan. Pemberian
konsentrat hendaknya sebelum hijauan, karena untuk merangsang mikroba rumen.
Konsentrat sebaiknya diberikan sebelum pemerahan agar mikroba dalam rumen dapat
memanfaatkan karbohidrat sehingga dapat dicerna (Lubis, 1963).
Pemberian pakan kasar berupa hijauan
dilakukan setelah pemerahan, agar tidak mengganggu mutu air susu (Supardi,
1981). Hal ini dilakukan karena apabila pemberian hijauan dilakukan pada pagi
hari sebelum pemerahan bisa mengakibatkan terganggunya proses pemerahan, karena
proses pencernaan hijauan pada sapi berlangsung sangat lama. Hijauan merupakan pakan utama sapi perah yang pada
umumnya terdiri dari hijauan segar ataupun jenis legum maupun rumput (Muldjana, 1985). Kebutuhan
hijauan sapi perah sebesar 2,5 pound (1,1 kg) per 100 pound (45 kg) bobot badan. Apabila hijauan segar
yang diberikan, maka jumlahnya tiga kali lebih besar (Ensminger, 1992). Lebih
lanjut dikatakan bahwa ketentuan jumlah pakan tersebut didasarkan pada
kapasitas sistem pencernaan.
Air penting artinya bagi tubuh,
terutama untuk peredaran bahan dan sari makanan keseluruh tubuh, air juga
penting dalam proses pernafasan dan pengaturan panas tubuh (Soelistiyono,1976).
Konsumsi air minum sapi perah laktasi
dipengaruhi oleh ukuran tubuh, produksi susu yang dihasilkan, kelembaban udara
dan kadar air pakan. Pemberian air minum pada sapi perah dilakukan secara add libitum (Muldjana, 1985).
2.4. Manajemen pemerahan
Tujuan dari
pemerahan adalah menjaga agar sapi tetap sehat dan ambing tidak rusak, karena
pelaksanaan pemerahan yang kurang baik, mudah sekali menimbulkan kerusakan pada
ambing dan putting karena infeksi mastitis yang sangat merugikan hasil susu.
Dan ju ga untuk mendapatkan susu yang maksimal dari
ambing (Blakely dan Bade, 1994).
Sistem pemerahan pada sapi perah ada 2 macam yaitu pemerahan dengan mesin dan pemerahan
dengan cara manual (menggunakan tangan). Pemerahan dengan tangan terdapat 3
cara pemerahan yaitu “Whole hand”, “Strippen”, dan “Knivelen” (Sindoeredjo,
1960).
2.4.1. Fase persiapan
Fase persiapan yang harus dilakukan antara lain sapi yang akan diperah
harus dibersihkan dari segala macam kotoran, tempat dan peralatan harus telah
disediakan dan dalam keadaan yang bersih ( Muljana ,1985). Peralatan
yang harus disediakan adalah ember tempat pemerahan susu, bangku kecil untuk
pemerah, tali tambang pengikat kaki sapi perah, milk can untuk penampung susu,
saringan untuk menyaring susu dari kotoran dan bulu-bulu sapi. Selanjutnya
menenangkan
sapi, mengikat ekornya dan mencuci ambing dengan air hangat serta melakukan
massage untuk merangsang keluarnya air susu. Sebelum pemerahan dimulai, pemerah harus melakukan
cuci tangan dengan bersih dan mengeringkannya. (Siregar, 1998). Pemerahan yang baik dapat
diatur antara 11-13 jam, 10-14 jam jika
ada interval selain itu tidak dianjurkan karena perbedaan yang terlalu besar
akan berpengaruh buruk terhadap produksinya. Adanya jarak pemerahan akan
menyebabkan produksi susu di pagi hari lebih tinggi dibandingkan dengan
produksi susu di siang hari (Syarif dan Sumoprastowo, 1985).
Adnan (1984), menyatakan bahwa untuk menjaga agar kandungan bakteri dalam susu segar
dapat serendah mungkin, semua peralatan yang dipakai untuk penanganan air susu
segar harus diusahakan tetap bersih. (Sugeng, 1992) menambahkan bahwa
langkah-langkah sebelum melakukan pemerahan yaitu: a) cuci alat-alat dengan air
pada suhu 50 derajat atau lebih; b) pembersihan dikerjakan dengan deterjen
alkali atau deterjen asam; c) kemudian alat-alat tersebut dicuci lagi dengan
air hangat untuk menghilangkan residu yang telah dapat dilepaskan oleh
deterjen.
2.4.2. Fase
pemerahan
Pemerahan sapi dapat dilakukan dengan
menggunakan mesin pemerah atau dengan tangan. Proses pemerahan yang baik,
dilakukan dalam interval yang
teratur, cepat, lembut, pemerahan dilakukan sampai tuntas, dan menggunakan prosedur sanitasi, serta efisien dalam
penggunaan tenaga kerja (Prihadi, 1996). Menurut Muljana (1985), pemerahan manual (dengan tangan) dilakukan
dengan memegang pangkal puting susu antara ibu jari dan jari tengah, kemudian
kedua jari kita tekan pelan dan menariknya ke bawah hingga air susu keluar, dan
cara yang mempergunakan lima jari yaitu ibu jari diatas dan keempat jari
lainnya memegang puting dan menarik-nariknya dengan pelan hingga air susu dapat
keluar dengan baik. Proses pemerahan dengan mesin,
menggunakan bentuk mesin yang menyerupai cakar (claw) dengan empat mangkuk puting (teatcups) berbentuk tabung yang terbuat dari besi dan karet, tabung
vakum dan pulsator (Nugroho, 2008). Syarief dan Bagus (2011) menyatakan
bahwa cara kerja mesin perah berbeda dengan pemerahan dengan tangan atau
penyedotan oleh pedet. Pengeluaran susu melalui pengisapan oleh sistem vakum
mesin, kemudian pulsator akan mengatur mekanisme vakum dan tekanan yang
terputus setiap detik. Perbandingan antara waktu tabung membuka dan menutup
disebut dengan rasio pulsation .
Susu yang sudah keluar dari puting akan disalurkan ke tempat penampungan yang
disebut tabung/ ember susu. Susu dari ember susu kemudian dipindahkan ke tangki
utama melalui prinsip kerja mekanik pompa. Di dalam tangki susu kemudian
didinginkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
2.4.3. Pasca pemerahan
Susu setelah
diperah harus segera ditampung dan dibawa ke kamar susu. Penanganan susu yang
biasa dilakukan adalah penyaringan dan pendinginan. Penyaringan susu bertujuan
untuk mendapatkan susu yang terbebas dari kotoran. Selain penyaringan dan
pendinginan, pengujian kualitas susu juga dilakukan karena merupakan hal yang
penting untuk mengetahui kualitas susu yang dihasilkan (Siregar, 1998). Menurut Sinduredjo
(1970) susu yang baik memiliki BJ susu minimal 1,027 pada temperatur 27,6oC,
dan kadar lemak berkisar 3%. Sesudah
melakukan pemerahan sebaiknya putting dicelupkan dalam larutan disinfektan
untuk menghindari terjadinya mastitis (Syarief dan Sumoprastowo, 1984).
2.5. Manajemen Perkandangan
Perkandangan yaitu
komplek dari suatu sentra kegiatan ternak yang melindungi ternak dari gangguan
buruk yang merugikan ternak dan menunjang
seluruh aktivitas ternak seperti kandang, gudang pakan, tempat feses,
kantor, mess dan kamar susu ( Girisonta, 1995). Kandang adalah tempat tinggal sapi selama hidupnya selain itu
juga sebagai tempat produksi, kawin dan melahirkan. Tujuan pembuatan kandang tersebut adalah untuk
melindungi ternak terhadap gangguan dari luar yang merugikan, misalnya gangguan
terik matahari, hujan dan angin yang kencang (Djarijah, 1996). Kandang untuk
pemeliharaan sapi harus bersih dan tidak lembab dan kandang dibersihkan setiap
hari agar sapi senantiasa bersih dan bebas dari kotoran sehingga susu yang
diperoleh tidak rusak dan tercemar (Syarief dan Sumoprastowo, 1985).
2.5.1. Lokasi Kandang
Penentuan ataupun pemilihan lokasi
kandang hendaknya memenuhi ketentuan-ketentuan yaitu tidak berdekatan dengan
pemukiman penduduk ataupun bangunan-bangunan umum seperti sekolah, rumah sakit,
puskemas, masjid, dan sebagainya, tidak ada rasa keberatan dari pihak
masyarakat disekitar; pembuangan air limbah dan kotoran tersalur dengan baik
dan persediaan air cukup; letak areal kandang lebih tinggi sekitar 20-30 cm
dari lahan sekitarnya; masih memungkinkan untuk perluasan kandang (Siregar,
1998). Lokasi kandang sapi perah yang bagus yaitu
sekitar 1-2 kilometer dari permukiman penduduk atau tempat keramaian hal ini
bertujuan untuk menghindari bau yang tidak sedap yang membuat tidak nyaman,
agar sapi tidak stress sehingga produksi susu tetap bagus, diusahakan lokasi
kandang dengan sumber air dekat agar mudah dalam proses sanitasi, mandikan sapi
dan lokasi kandang mudah dijangkau sehingga dalam proses pengiriman susu dan pakan tidak mengalami hambatan
(Girisonta, 1995). Suhu yang optimal untuk pemeliharaan sapi PFH adalah 10 – 27oC
(Abidin, 2002).
2.5.2. Kontruksi Kandang
Pembuatan kandang harus memperhatikan
beberapa persyaratan pokok yang utama yaitu konstruksi kandang yang meliputi
ukuran, bahan-bahan yang digunakan dan perlengkapan kandang (Untung, 1996). Bangunan kandang harus memberikan jaminan hidup yang sehat, nyaman
dan tidak menimbulkan kesulitan dalam meakukan aktivitas ternak sehingga
kontruksi kandang harus kokoh, tidak membahayakan sapi atau peternaknya. Bahan
yang biasa digunakan untuk tempat, tempat minum, penampungan limbah terbuat dari bangunan permanen
dari semen dan jika yang tidak permanen terbuat dari kayu atau plastik. Atap
kandang bisa dibuat dari genteng, seng, asbes, daun kelapa ataupun dari bahan
lain. Tinggi atap dari genting 4,5 m untuk dataran rendah dan menengah dan 4 m
untuk dataran tinggi. Tinggi
plafon teras berkisar antara 1,75–2,20 m, lebar teras sekitar 1 m (Siregar, 1998).
Bahan-bahan yang bisa digunakan sebagai
dinding adalah anyaman bambu, papan atau bata, ketinggian dinding sebaiknya
diperhatikan, yaitu harus setinggi atau lebih tinggi dari tubuh ternak sapi
(kurang lebih 2 m), karena berhubungan dengan pengaturan ventilasi dan masuknya
sinar matahari sehingga tidak terhalang oleh dinding, tinggi kandang dari
lantai sekitar 125-150 cm (Syarief dan Sumoprastowo, 1984). Lantai kandang
sebaiknya dibuat dari bahan yang cukup keras dan tidak licin untuk dapat
menjaga kebersihan dan kesehatan kandang. Tempat pakan dibuat memanjang
sepanjang kandang dan diusahakan sapi dapat mengambil pakan yang disediakan.
Tempat minum porsi yang cukup untuk ternak dan bisa dibuat disebelah pakan,
namun juga harus diperhatikan cara pergantiannya agar terhindar dari
kontaminasi pakan yang tercecer oleh ternak (Darmono, 1993).
2.5.3. Tipe Kandang
Kandang sapi perah dapat dibedakan menjadi dua
tipe yaitu: kandang tipe tunggal merupakan tipe kandang yang memiliki bentuk
atap tunggal atau berdiri satu baris kandang dengan demikian sapi yang
ditempatkan dikandang ini mengikuti bentuk atap yang hanya satu baris dan
kandang tipe ganda merupakan kandang yang memiliki bentuk atap kanda atau dua
baris yang saling berhadpan sehingga sapi yang berada dalam kandang ini berdiri
dua baris dengan posisi saling berhadapan atau dengan saling bertolak belakang
(Girisonta, 1995).
2.5.4. Sanitasi dan Penanganan Limbah
Penyakit pada sapi perah akan dapat menimbulkan
kerugian ekonomis yang tidak sedikit yaitu terlambatnya pertumbuhan sapi muda
dan kematian (Siregar, 1998). Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk
pencegahan penyakit antara lain karantina ternak yang sakit, vaksinasi,
penjagaan kebersihan kandang dan peralatan, drainase yang lancar serta lantai
yang tidak dingin dan tidak lembab (Soedono dan
Sutardi, 2003).
Usaha pemeliharaan
kesehatan dilakukan melalui kebersihan kandang, kebersihan ternak, peralatan
dan petugas kandang. Gerak badan atau exercise diperlukan oleh sapi kering kandang setiap
hari selama 1-2 jam di lapangan untuk mendapatkan sinar matahari. Program kesehatan dalam peternakan sapi perah
harus dijalankan secara teratur, terutama di wilayah yang sering terjadi
penyakit menular, seperti TBC, brucellosis, penyakit mulut dan kuku, dan radang
limpa. Pemeliharaan yang tidak baik dapat menyebabkan kematian pada anak sapi,
terutama yang baru berumur 2 – 3 minggu (Sudono dan Sutardi, 2003). Kandang yang baik harus memiliki saluran pembuangan limbah atau feses
sapi. Saluran pembuangan limbah yang ideal adalah dengan lebar 30 cm, yang
berfungsi untuk mengalirkan kotoran sapi ke saluran biogas (bila di peternakan
terdapat instalasi biogas) atau ke saluran penampungan kotoran untuk dijual
sebagai pupuk kandang (Syarief dan Bagus, 2011).
2.6. Manajemen Perkawinan
Perkawinan
merupakan cara perkembangbiakan dengan cara dikawinkan, baik secara alami maupun buatan.
Perkawinan secara buatan dilakukan dengan bantuan IB (Inseminasi
Buatan). Proses perkawinan
akan berhasil jika didukung oleh tiga hal yaitu pakan, kondisi sapi, lingkungan. Perkawinan secara buatan atau IB maka yang berpengaruh untuk keberhasilan
proses perkawinan yaitu inseminator, sperma, pakan dan kondisi ternak
diusahakan dalam kondisi benar-benar dalam kondisi berahi (Girisonta,
1995). Perkawinan yang tepat bagi sapi
yang sedang berahi dilakukan pada masa-masa subur. Masa subur yang dialami sapi
perah berlangsung selama 15 jam, masa subur ini dicapai 9 jam sesudah
tanda-tanda berahi terlihat dan 6 jam sesudah berahi itu berakhir. Ovulasi
terjadi 10-12 jam sesudah berahi terakhir. Perkawinan kembali setelah
melahirkan yaitu dilakukan setelah 60-90 hari harus dilakukan perkawinan
kembali karena jika terlalu lama maka perkawinan berikutnya lama dan jarak
kelahiran berikutnya terlalu panjang (Ensminger, 1992).
2.6. Recording
Dasar utama dalam program pemuliabiakan yang baik adalah
dengan mencatat produksi setiap sapi (recording)
(Ensminger, 1992). Pencatatan prestasi produksi adalah merupakan segi tata
laksana yang penting untuk dapat digunakan dalam melaksanakan seleksi yang
mantap (Syarief dan Sumoprastowo, 1985).
Recording melalui pengafkiran dan program seleksi agar dapat menghilangkan
faktor genetik yang buruk dan mengacu pada genetik yang lebih superior,
pencatatan susu dan lemak juga merupakan salah satu kunci kepada pemberian
pakan sapi perah (Ensminger, 1992). Pencatatan tidak lepas dari salah satu
pelaksanaan pemberian tanda pengenal berupa ; nomor telinga, tanduk, tato, cap
bakar, kalung bernomor dan sebagainya (Syarief dan Sumoprastowo, 1985).
BAB III
METODOLOGI
Praktikum Manajemen Ternak Perah yang dilaksanakan pada
hari Minggu 13 Mei 2012 pukul 15.00 WIB – Senin 14 Mei 2012 pukul 15.00 WIB di Farm Sapi Perah Koperasi Serba Usaha (KSU),Tuntang,
Salatiga.
3.1. Materi
Materi yang
digunakan dalam praktikum ini adalah sapi
perah. Alat yang digunakan adalah termometer yang berfungsi untuk
mengukur suhu makro dan mikro, bucket
milking module untuk menampung susu, timbangan untuk menimbang pakan, ember
untuk menampung air pada saat sanitasi, sekop sebagai alat bantu mengangkat
pakan, copper untuk memotong hijauan,
gerobak sorong untuk mengankut pakan dan pita ukur untuk mengukur perkandangan.
3.2. Metode
Metode yang
dilakukan dalam praktikum meliputi wawancara dengan manager farm dan pekerja,
serta dengan berpartisipasi langsung dalam farm tersebut. Wawancara dengan
manager farm, antara lain mengenai manajemen pemerahan yang meliputi pengukuran
rata-rata produksi susu harian sapi laktasi dengan mengukur produksi susu tiap
puting dan pencatatan waktunya. Manajemen perkandangan meliputi pengamatan,
pengukuran kandang dengan menggunakan pita ukur dan pencatatan kandang sapi
perah dan sarana pendukung lainnya seperti selokan, tempat pakan, tempat sapi,
gudang penyimpanan bahan pakan, tempat pengambilan air, tempat air minum,
ventilasi kandang dan denah kandang. Manajemen pakan meliputi frekuensi dan
jumlah pemberian pakan dan air minum. Recording
meliputi pencatatan produksi susu, kesehatan, pakan dan iklim.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadaan Umum
Farm Sapi Perah Koperasi Serba Usaha (KSU) terletak di daerah Tuntang,
Salatiga yang memiliki suhu yang optimal untuk pemeliharaan sapi PFH, yaitu 26oC.
Keadaan farm ini sudah cukup baik, karena terletak jauh dari pemukiman penduduk
sehingga masyarakat di sekitar farm tidak terganggu dengan aktivitas maupun
dampak yang ditimbulkan dari farm. Farm juga telah dilengkapi dengan mess,
tetapi untuk gudang pakan dan peralatan lain masih diletakkan menjadi satu
dengan kandang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Siregar (1998) yang
menyatakan bahwa pemilihan lokasi kandang hendaknya memenuhi
ketentuan-ketentuan yaitu tidak berdekatan dengan pemukiman penduduk ataupun
bangunan-bangunan umum seperti sekolah, rumah sakit, puskemas, masjid, dan
sebagainya, tidak ada rasa keberatan dari pihak masyarakat disekitar;
pembuangan air limbah dan kotoran tersalur dengan baik dan persediaan air
cukup; letak areal kandang lebih tinggi sekitar 20-30 cm dari lahan sekitarnya;
masih memungkinkan untuk perluasan kandang. Abidin
(2002) menambahkan bahwa suhu optimal untuk pemeliharaan sapi PFH adalah
berkisar antara 20 – 27oC.
4.2. Manajemen pemeliharaan
4.2.1. Manajemen
pemeliharaan pedet
Berdasarkan hasil
praktikum manajemen pemeliharaan pedet meliputi pemberian susu dari induknya
dimana pedet tidak menyusu secara langsung pada induknya, tetapi diberi susu
dengan menggunakan ember susu. Pedet yang ada saat praktikum belum mengalami
lepas sapih. Menurut Muljana (1985) masa lepas sapih berarti sapi sudah tidak
mendapatkan susu lagi dari induk sehingga untuk memenuhi kebutuhannya
dibutuhkan pakan yang dapat menggantikan kebutuhan akan susu tersebut. Ensminger (1992) menambahkan bahwa lepas sapih pedet sekitar
antara 2-3 bulan sedangkan pemisahan pedet bisa dilakukan satu minggu pertama
tetapi pedet tetap diberi susu sesuai dengan kebutuhan pedet.
4.2.2. Manajemen
pemeliharaan sapi dara
Berdasarkan
praktikum bahwa sistem pemberian pakan pada sapi dara sama dengan dengan sapi
yang lain namun kapasitas yang berbeda yaitu lebih banyak konsentrat untuk
tujuan masa siap dikawinkan atau bunting awal. Pemberian pakan pada sapi dara
akan sangat mempengaruhi perkembangan sapi dara, baik perkembangan bagian
tubuhnya maupun alat reproduksinya. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Ensminger (1992) yang menytakan bahwa sapi dara adalah sapi pada masa antara lepas sapih
sampai laktasi pertama kali yaitu berkisar antara umur 12 minggu sampai dengan
2 tahun. Siregar (1998) menambahkan bahwa pada masa lepas sapih, berarti sapi sudah tidak
mendapatkan susu lagi dari induk sehingga untuk memenuhi kebutuhannya
dibutuhkan pakan yang dapat menggantikan kebutuhan akan susu tersebut. Jadi,
pada perawatan sapi dara lebih diutamakan pada pemberian pakan yang tepat yang nantinya dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal.
4.2.3. Manajemen
pemeliharaan sapi laktasi
Berdasarkan praktikum bahwa pemeliharaan sapi laktasi meliputi pemberian pakan
dan air minum, pencatatan produksi susu, pembersihan badan khususnya ambing.Pemberian pakan pada sapi laktasi lebih banyak pemberian rumput
dibandingujuankan konsentrat, untuk tujuan produksi susu. Hal ini
sesuai dengan pendapat Soedono dan Sutardi (2003) menyatakan bahwa pakan
diperlukan oleh sapi laktasi untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi susu,
pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Sindorejo
(1960) menambahkan untuk sapi perah yang laktasi pemberian pakan antara konsentrat
dibandingkan hijauan lebih banyak karena untuk menunjang produksi susu.
4.3. Manajemen pakan
Berdasarkan hasil praktikum pakan yang diberikan rumput gajah dan
konsentrat berupa complete feed. Rumput gajah diberikan
dua kali sehari setelah pemerahan pagi dan sore dengan rumput yang sudah dicopper antara 5-10 cm. Menurut Soedono dan
Sutardi (2003), bahwa untuk mendapatkan pakan sapi perah yang berkoefisien cerna tinggi dan murah harganya, maka pakan yang diberikan
sebanyak-banyaknya 60% dari hijauan untuk menyediakan serat kasar bagi ternak
atau untuk produksi energi dan 40% dari konsentrat untuk meningkatkan
palatabilitas pakan dan untuk memaksimalkan kerja mikroba rumen. Konsentrat
juga diberikan dua kali sehari. Menurut Blakely dan Bade (1994), fungsi utama
dari pemberian konsentrat adalah mensuplai energi tambahan yang diperlukan
untuk produksi susu secara maksimum dan mengatur atau menyesuaikan tingkat
protein suatu ransum tertentu.
Pemberian minum secara ad libitum. Hal ini sesuai
dengan pendapat Blakely dan Bade (1994) bahwa pada pemeliharaan sapi perah, air
minum harus selalu tersedia karena air mempunyai fungsi yang sangat vital.
Fungsi dari air untuk sapi perah adalah sebagai zat pelarut dan pengangkut zat
pakan, membantu proses pencernaan, penyerapan dan pembuangan hasil metabolisme,
memperlancar reaksi kimia dalam tubuh, pengatur suhu tubuh dan membantu
kelancaran kerja syaraf panca indera.
4.4. Manajemen pemerahan
4.4.1. Pra pemerahan
Persiapan pemerahan yang dilakukan meliputi memandikan
sapi perah, penyiapan alat-alat pemerahan dan pembersihan kandang. Pembersihan kandang dilakukan dengan menyiram
lantai kandang, pembuangan kotoran dengan menyemprotkan air sehingga lantai
kandang menjadi bersih. Pembersihan kandang merupakan salah satu langkah yang
dilakukan untuk menjaga kualitas susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Soedono
dan Sutardi (2003) yang menyatakan bahwa pembersihan kandang bertujuan untuk
menghilangkan kotoran yang dapat menyebabkan terkontaminasinya susu oleh
bakteri dan akan mempengaruhi susu dimana kotoran tersebut dapat menimbulkan
bau yang bisa terserap oleh susu bahwa sebelum pemerahan dimulai kandang sapi
harus bebas dari kotoran, hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas susu bahwa
daerah di sekitar pemerahan harus bersih dan bebas dari bau sebelum sapi
tersebut diperah. Memandikan sapi dilakukan satu kali sehari karena sapi harus
selalu bersih setiap kali akan diperah, terutama bagian daerah lipatan paha
sampai belakang tubuh sapi dan sebaiknya sapi-sapi perah dimandikan
sekurang-kurangnya satu kali sehari. Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1985),
cara pemandian sapi yaitu dengan menyiram tubuh sapi dengan menggunakan
air bersih yang dialirkan dari selang
kemudian digosok dengan sikat untuk menghilangkan kotoran dan rambut rontok
yang menempel.
4.4.2. Proses pemerahan
Selama praktikum, pemerahan dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi
hari pada pukul 07.00 WIB dan sore hari
pukul 15.00 WIB . Pemerahan dilakukan dengan menggunakan tangan dan mesin. Pemerahan dengan
tangan dilakukan dengan metode strippen.
Hal ini sesuai dengan pendapat Sindoredjo (1960) yang menyatakan bahwa
pemerahan dengan tangan dapat dilakukan dengan 3 cara pemerahan yaitu Whole
hand, Strippen dan Knivelen.
Nugroho (2008) menambahkan bahwa proses
pemerahan dengan mesin, menggunakan bentuk mesin yang menyerupai cakar (claw) dengan empat mangkuk puting (teatcups) berbentuk tabung yang terbuat
dari besi dan karet, tabung vakum dan pulsator.
4.4.3. Pasca pemerahan
Penanganan setelah pemerahan pada ambing dan puting
tidak dilakukan. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Syarief dan Sumoprastowo
(1985) yang menyatakan bahwa sesudah selesai diperah puting dicelupkan pada
larutan sanitasi untuk menghindari penyakit mastitis. Susu yang telah diperah segera ditampung dan
dibawa ke kamar susu tanpa dilakukan penyaringan terlebih dulu. Hal ini kurang
sesuai dengan pendapat Siregar (1998) yang menyatakan bahwa, penanganan susu
yang biasa dilakukan adalah penyaringan susu yang bertujuan untuk mendapatkan
susu yang terbebas dari kotoran.
4.5. Manajemen perkandangan
4.5.1. Lokasi
Berdasarkan hasil praktikum,
Farm Sapi Perah Koperasi Serba Usaha
(KSU) terletak di daerah Tuntang, Salatiga yang memiliki suhu yang optimal
untuk pemeliharaan sapi PFH, yaitu 26oC. Farm terletak sekitar
perkebunan cengkeh dan jauh dari pemukiman penduduk. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Girisonta (1995) yang menyatakan bahwa lokasi kandang sapi perah yang
bagus yaitu sekitar 1-2 kilometer dari permukiman penduduk atau tempat
keramaian hal ini bertujuan untuk menghindari bau yang tidak sedap yang membuat
tidak nyaman, agar sapi tidak stress sehingga produksi susu tetap bagus,
diusahakan lokasi kandang dengan sumber air dekat agar mudah dalam proses
sanitasi, mandikan sapi dan lokasi kandang mudah dijangkau sehingga dalam
proses pengiriman susu dan pakan tidak mengalami
hambatan. Abidin (2002) menambahkan bahwa suhu yang
optimal untuk pemeliharaan sapi PFH adalah 10 – 27oC.
4.5.2. Konstruksi kandang
Berdasarkan praktikum
Manajemen Ternak Perah di farm, diperoleh hasil bahwa kandang dengan tipe
terbuka yang memiliki dinding dari semen, lantai terbuat dari semen dan atap
dari seng. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Siregar (1998) yang menyatakan
bahwa atap
kandang bisa dibuat dari genteng, seng, asbes, daun kelapa ataupun dari bahan
lain. Syarief dan
Sumoprastowo (1984) menambahkan bahwa bahan-bahan yang bisa digunakan sebagai
dinding adalah anyaman bambu, papan atau bata, ketinggian dinding sebaiknya diperhatikan,
yaitu harus setinggi atau lebih tinggi dari tubuh ternak sapi (kurang lebih 2
m), karena berhubungan dengan pengaturan ventilasi dan masuknya sinar matahari
sehingga tidak terhalang oleh dinding, tinggi kandang dari lantai sekitar
125-150 cm. Darmono (1993) menyatakan bahwa lantai kandang sebaiknya dibuat
dari bahan yang cukup keras dan tidak licin untuk dapat menjaga kebersihan dan
kesehatan kandang.
4.5.3. Tipe kandang
Berdasarkan hasil praktikum, kandang sapi menggunakan
sistem kandang setengah terbuka dan dibuat dua baris sejajar dengan gang di
tengah..
Bentuk ini pandangannya luas dan terbuka, mudah dalam pengawasan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Syarief dan Sumoprestowo (1990) bahwa kandang dengan sistem gang ditengah akan memberikan ketenangan ternak yang tinggal di dalamnya, tidak
mudah terganggu oleh ternak yang lain atau oleh petugas yang sedang melakukan
pekerjaan. Luas kandang total adalah 888 m2, yang terdiri dari panjang 37 m dan lebar 24 m. Palung pakan dan palung minum memiliki panjang
15,3 m, lebar 70 cm, dan tinggi palung 1,5 m. Kandang
sapi memiliki memiliki palung pakan sehingga memudahkan sapi mengambil pakannya
dan memberikan kemudahan pekerja dalam membersihkannya. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Siregar (1998), bahwa tempat pakan sebaiknya dibuat berupa
palung agar memperudah ternak mengambil makanannnya dan mudah dibersihkan. .
Selokan kandang
sudah sesuai dengan ketentuan dan menuju ke tempat pembuangan limbah secara
lancar dengan kedalaman awal (hulu) 20 cm dan kedalaman akhir (hilir) 15 cm,
dan memiliki lebar 30 cm. Keadaan selokan seperti tersebut, maka kotoran akan
lancar sampai ke tempat pembuangan akhir dan jika kotoran dalam bentuk padat
yang memerlukan bantuan sekop untuk mengalirkannya, maka akan mudah, karena
lebar sudah sesuai dengan lebar sekop.
Hal ini sesuai dengan pendapat Syarief dan Sumoprastowo (1990), bahwa
selokan harus lancar sampai ke pembuangan akhir.
4.5.4. Sanitasi dan
penanganan limbah
Berdasarkan
praktikum, sanitasi dilakukan pada pagi dan sore hari sebelum proses pemerahan
berlangsung. Sanitasi dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kebersihan sapi dan
wilayah perkandangan agar terhindar dari penyakit yang dapat membahayakan
ternak. Sehingga diperlukan saluran untuk pembuangan limbah, agar kebersihan
kandang tetap terjaga. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Soedono dan Sutardi (2003) yang
menyatakan bahwa beberapa hal yang
perlu dilakukan untuk pencegahan penyakit antara lain karantina ternak yang
sakit, vaksinasi, penjagaan kebersihan kandang dan peralatan, drainase yang
lancar serta lantai yang tidak dingin dan tidak lembab.
Syarief dan Bagus (2011) menambahkan bahwa kandang yang baik harus memiliki saluran pembuangan limbah atau feses
sapi. Saluran pembuangan limbah yang ideal adalah dengan lebar 30 cm, yang
berfungsi yntuk mengalirkan kotoran sapi ke saluran biogas (bila di peternakan
terdapat instalasi biogas) atau ke saluran penampungan kotoran untuk dijual
sebagai pupuk kandang.
4.6. Manajemen perkawinan
Berdasarkan hasil praktikum, manajemen perkawinan di Farm tersebut menggunakan sistem Inseminasi Buatan
(IB), hal ini dilakukan karena lebih efisien, karena dengan IB akan menghemat
waktu perkawinan dan service per
conception atau jumlah perkawinan hingga memperoleh
kebuntingan pada sapi akan lebih
rendah. Tetapi, berhasil atau tidaknya suatu IB dipengaruhi oleh pakan,
inseminator dan sperma yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Girisonta
(1995) yang menyatakan bahwa Perkawinan secara buatan atau IB maka yang berpengaruh untuk keberhasilan
proses perkawinan yaitu inseminator, sperma, pakan dan kondisi ternak
diusahakan dalam kondisi benar-benar dalam kondisi berahi.
4.7. Recording
Berdasarkan praktikum, diperoleh hasil bahwa pencatatan
status ternak dilakukan dengan menggunakan pemberian tanda pada telinga (eartag) dan pencatatan lainnya yaitu :
catatatan produksi susu, catatan kesehatan ternak, catatan reproduksi dan
perkawinan ternak, dan catatan ransum dan perubahan ransum yang selanjutnya
disimpan dalam kartu ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Ensminger (1992)
yang menyatakan, recording melalui pengafkiran dan program seleksi agar dapat
menghilangkan faktor genetik yang buruk dan mengacu pada genetik yang lebih
superior, pencatatan susu dan lemak juga merupakan salah satu kunci kepada
pemberian pakan sapi perah. Ditambahkan oleh Syarief dan Sumoprastowo (1985),
pencatatan tidak lepas dari salah satu pelaksanaan pemberian tanda pengenal
ternak berupa; nomor telinga, tanduk, tato, cap bakar, kalung bernomor dan sebagainya.
BAB V
KESIMPULAN DAN
SARAN
5.1. KESIMPULAN
Manajemen
pemeliharaan meliputi pemeliharaan sapi laktasi, bunting dan pedet. Pakan sapi
perah meliputi rumput dan konsentrat dengan pemberian 2 kali sehari. Pakan yang
diberikan telah mencukupi kebutuhan ternak untuk hidup pokok dan untuk produksi
susu. Frekuensi pemerahan dilakukan dua kali sehari pada pukul 07.00 WIB dan 15.00 WIB. Manajemen perkandangan yang ada juga memudahkan pekerja dalam
memberikan pakan dan minum untuk ternak, serta dalam melakukan proses sanitasi.
Kandang yang digunakan dapat dikatakan telah sesuai untuk pemeliharaan ternak
perah, karena lokasinya sudah baik, dekat dengan sumber air dan jauh dari
pemukiman penduduk.
5.2. SARAN
Sebaiknya kebersihan kandang harus
ditingkatkan untuk mencegah berkembang biaknya penyakit. Manjemen pakan juga harus
diperhatikan agar bobot badan sapi bertambah dengan pakan yang tidak berlebihan sehingga dapat membantu
meningkatkan produksi susu sapi.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Blakely, J dan Bade, D. H. 1994.
Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh
B. Srigandono).
Nugroho, C. P. Agribisnis Ternak Ruminansia. PT.
Macanan Jaya Cemerlang. Klaten.
Darmono. 1993. Kandang Ternak Perah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Diggins, R.V. and C. E. Bundy, 1979.
Dairy Product. Prentice Halls, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.
Djarijah,
S.1996. Usaha Ternak Sapi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Ensminger. 1992. Dairy Cattle Science. The Interstate
Printer and Publisher. Inc, Denvile,
Illionois.
Girisonta.
1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisius Yogyakarta.
Hartadi, H., Soedomo R., Allen D. T. 1993. Tabel
Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Lubis, D. A. 1963. Ilmu Makanan Ternak. Yayasan
Pembangunan, Jakarta.
Muldjana, W. 1985. Pemeliharaan dan
Kegunaan Ternak sapi Perah. Penerbit Aneka Ilmu, Semarang.
Murtidjo, A.
2006. Beternak Sapi Potong. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Prihadi. 1996. Tata Laksana dan
Produksi Sapi Perah. Fakultas Peternakan
Universitas Wangsa Manggala. Yogyakarta.
Sindoeredjo, S. 1960. Pedoman Perusahaan Pemerahan
Susu. Direktorat Pengembangan Produksi. Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta.
Siregar, S. 1998. Sapi Perah, Jenis, Teknik
Pemeliharaan dan Analisis Usaha. Penebar Swadaya, Jakarta.
Soedono, A. dan Sutardi. 2003.
Pedoman Beternak Sapi Perah. Direktorat Jendral Peternakan Departemen
Pertanian, Jakarta
Sugeng, Y. B. 2007. Sapi Potong. Penerbit Swadaya, Jakarta.
Sutardi, T. 2003. Sapi Perah dan
Pemberian Makanannya. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syarief, M. Z dan C.D.A. Sumoprastowo. 1985. Ternak
Perah. Yasaguna, Jakarta.
Syarief, E. K. dan Bagus H. 2011. Buku Pintar
Beternak dan Bisnis Sapi Perah. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Untung, O. 1996. Membuat Kandang yang Sehat.
Puspaswara. Jakarta.
Williamson, G. dan W. J. A. Payne.
1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh S.G.N. Djiwa Darmadja).
No comments:
Post a Comment